Dissenting Opinion Akan Membuat Hasil Pilpres 2024 Tetap Kontroversial di Mata Publik

Dissenting Opinion? Makhluk apa tuh?

Pada akhirnya, mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menolak seluruh permohonan sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diajukan oleh kedua pasangan calon, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Prof. Mahfud MD.  Untuk kesekian kalinya, masyarakat Indonesia kembali terbelah. Ada yang pro kubu pemenang (Prabowo – Gibran) dan tidak sedikit pula yang masih bertahan di kubu penggungat nomor 01 dan 03.

Dan bagaimanapun juga, hakim konstitusi sudah memutuskan dengan jelas. untuk menolah semua gugatan dari tim kuasa hukum 01 dan 03. Namun, keputusan tersebut tidak terlepas dari dissenting opinion yang diajukan oleh tiga hakim konstitusi. Dan lagi lagi, makhluk yang bernama Dissenting opinion ini kembali mengundang perdebatan berkelanjutan di tengah masyarakat. Hal ini telah memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi hukum di Indonesia.

Dissenting Opinion itu apa?

Dissenting opinion adalah beda pendapat di antara hakim terhadap putusannya. Diatur dalam Pasal 10 Undang-undang MK, putusan MK bersifat final dan mengikat. Menurut Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dissenting opinion merupakan dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Dilansir dari detik.com, dissenting opinion merupakan identitas Hakim terhadap suatu kondisi, nilai, dan penafsiran yang dianggap benar. Akuntabilitas dan kredibilitas intelektual terutama prinsip kehati-hatian untuk memutus dipertaruhkan dengan adanya dissenting opinion. 

Oleh karean itu, dalam sebuah wawancara, Profesor Susi Dwi Harijanti dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan MK. Dia mengharapkan MK akan memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan dengan memerintahkan pemungutan suara ulang, namun keputusan tersebut tidak terwujud. Meskipun dissenting opinion disampaikan oleh tiga hakim konstitusi, amar putusan tetap menolak permohonan secara keseluruhan dengan alasan tidak beralasan menurut hukum.

Profesor Susi menyoroti bahwa hakim konstitusi seolah-olah terbatas dalam menggunakan sumber hukum dalam putusannya dan kurang memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dia mempertanyakan mengapa hakim-hakim tersebut tidak menggunakan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan mereka untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam perspektif Profesor Susi, penggunaan sumber hukum non formal seperti standar keadilan dan nilai moral yang dianut masyarakat seharusnya juga dipertimbangkan oleh hakim konstitusi. Namun, dalam putusan MK, fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, seperti pengakuan Menteri Sosial RI mengenai pembagian bansos yang tidak melibatkan institusinya, tidak diperhatikan dengan seksama.

Profesor Sigit Riyanto dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa putusan MK yang tidak memenuhi harapan publik dalam memastikan pemilu yang demokratis dan menjunjung tinggi HAM menunjukkan kegagalan dalam mencapai keadilan substansial. Meskipun kejujuran dan keadilan prosedural mungkin terpenuhi, namun keadilan substansial dalam hal ini belum tercapai.

Titi Anggraini dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengamati bahwa meskipun kedua putusan MK menguatkan Keputusan KPU tentang perolehan suara hasil pemilu, dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi membuat legitimasi hasil pilpres tersebut menjadi tidak solid dan selalu menyisakan kontroversi di masyarakat. Wajar saja dalam 1 pekan ini, suara suara kekecewaan dari pendukung 01 dan 03 masih ramai terdengar. 

Dengan demikian, meskipun MK telah mengambil keputusan, dissenting opinion yang disampaikan oleh tiga hakim konstitusi telah menjadikan hasil Pilpres 2024 tetap kontroversial di mata publik. Hal ini menyoroti pentingnya tidak hanya memperhatikan aspek hukum formal, tetapi juga nilai-nilai keadilan substansial dalam setiap putusan hukum. Sekali lagi bukan hasil pemilunya yang dipermasalahkan, namun bagaimana keadilan itu bisa ditegakkan di hadapan rakyat. 

Sebagaimana pernyataan Profesor Sigit Riyanto di atas, kita hanya mampu menegakkan keadilan prosedural. Namun kita lupa, bahwa hakikat keadilan yang substansial masih belum bisa kita wujudkan. Kita masih terkungkung pada keadilan prosedural semu yang hanya dijadikan sebagai jargon dan lipstik saja. 

Tapi sudahlah, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini, cukup sudah perdebatan ini. Ingatlah bahwa negeri tercinta ini lahir tidak dengan gratis, tapi dengan mengorbankan ribuan jiwa rakyat Indonesia. Dan kita yang lahir enak di zaman yang sudah lebih baik belakangan ini, jangan sampai karena ego sendiri, membiarkan perpecahan merusak itu semua. Mari kita akhiri semua perdebatan ini dengan sportif, karena itulah jiwa negarawan sejati.

Facebook Comments Box